Jakarta – Pemerintah lewat Menko Polhukam Mahfud Md mendorong DPR segera mengesahkan Rancangan KUHP agar jadi UU. Sebab, KUHP sekarang adalah warisan kolonial penjajah. DPR menyambut baik dan tinggal satu kali rapat paripurna untuk mengesahkan.
“Ketika terjadi proklamasi berarti terjadi perubahan masyarakat kolonial menjadi masyarakat merdeka. Masyarakat jajahan menjadi masyarakat yang tidak terjajah lagi. Nah, makanya hukumnya harus berubah seharusnya,” kata Mahfud Md.
Berikut ini sebagian isu krusial yang sempat menjadi polemik di masyarakat sebagaimana dirangkum detikcom, Senin (8/3/2021). Yuk baca lagi biar tidak disinformasi:
I. Pasal Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden
Kontroversi:
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006 inkonstitusional.
Versi RKUHP:
1. RUU KUHP mengatur tindak pidana ini dengan perubahan dari delik yang bersifat biasa, menjadi delik aduan untuk melindungi kepentingan pelindungan Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara.
2. Pengaduan dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
3. Terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
4. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
II. Pasal Santet
Yaitu dipidana orang yang menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib.
Kontroversi:
Sulitnya hubungan kausalitas antara santet dan akibat yang ditimbulkan dari santet.
Versi RKUHP:
1. Tindak pidana ini merupakan delik formil, sehingga tidak perlu ada akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana Perbuatan yang dipidana adalah apabila seseorang MENYATAKAN bahwa dirinya mempunyai kekuatan untuk menimbulkan penyakit dll.
2. Tindak pidana ini perlu dikriminalisasi karena sifatnya sangat kriminogen (dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain) dan viktimogen (secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan) melindungi kepentingan individual (misalnya mencegah praktik penipuan) serta melindungi religiositas dan ketentraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik.
III. Pasal Dokter Gigi
Yaitu pasal tentang dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin.
Kontroversi:
Putusan MK membatalkan larangan profesi tukang gigi dan telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014.
Versi RKUHP:
1. Materi muatan Pdi atas telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat tukang gigi dapat menjalankan profesinya selama memiliki izin dari pemerintah.
IV. Pasal Unggas/Ternak
Pasal yang memidanakan orang yang punya ternak/unggas dan ternak/unggas merusak kebun tetangga yang ditanami benih.
Kontroversi:
1. Bertentangan dengan kebiasaan di masyarakat pedesaan yang membiarkan unggas atau ternak berkeliaran.
2. Berpotensi menimbulkan overkriminalisasi apabila tidak diatur secara materiil.
Versi RKUHP:
Saat ini materi di atas telah diatur dalam Pasal 549 KUHP dan masih berlaku. Contoh kasus Putusan PN Kisaran Nomor 66/Pid.C/2014/PN Kis.
V. Pasal Contempt of Court
Kontroversi:
1. UU Advokat mengatur fungsi pengawasan yang dilakukan Dewan Kehormatan dan memiliki kode etik tersendiri.
2. Hakim berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya karena hakim dalam sistem peradilan Indonesia, hakim memiliki kekuasaan absolut.
3. Contempt of court berkembang di Inggris (common law – hakim bertindak pasif dalam menangani perkara), sehingga memang dibutuhkan ketentuan contempt of court.
Versi RKUHP:
1. Memberikan kepastian perlindungan hukum bagi hakim dan aparatur pengadilan.
2. Menjaga norma tingkah laku dan wibawa dari pengadilan, serta menjadi dasar hukum untuk penegakan kewibawaan pengadilan.
3. Yang dimaksud dengan ‘dipublikasikan secara langsung’, misalnya, live streaming, audio visual tidak diperkenankan tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya.
4. Pasal ini diatur demi ketertiban umum untuk menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
5. Ketentuan ini tidak mengurangi kebebasan wartawan untuk mempublikasikan berita setelah sidang pengadilan selesai diselenggarakan.
(asp/gbr)