“(Pelanggaran) terus berulang, tiap hari. (Pemerintah menyebut), ‘Kami sudah lakukan penindakan.’ Publik tahu, penegakan cuma satu hari,” ucap Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus, saat dihubungi, Senin (22/3/2021).
Menurut Alfred, jika hanya sekali digebah, maka pelanggar akan tetap ada esok harinya. Karena itulah, muncul keluhan-keluhan di tempat yang sama.
“Kita mau menghindari penegakan hukum parsial. Beberapa kali publik kirim aduan lewat Koalisi Pejalan Kaki. Saat lewat aplikasi pengaduan publik, disebut sudah selesai. Tapi (ternyata) balik lagi,” katanya.
Menurut Alfred, pelanggar mencari celah untuk putar balik, bahkan ojek sengaja mangkal di lokasi. Sehingga, ketegasan penegak hukum dan pemerintah diperlukan agar pelanggaran tak berulang.
“Ruang kekosongan penegak hukum akhirnya publik melanggar. Ketika kurang tegas, penegak hukum di kawasan itu, ya menjadi celah pelanggaran. Publik praktis, ketika saya akses lebih dekat (melalui trotoar), ya terabas,” katanya.
Alfred menyampaikan, salah satu cara untuk mengawasi lokasi putar balik adalah dengan membuat posko di sekitar lokasi rawan pelanggaran. Sehingga, pengawasan bisa dilakukan setiap hari.
“Kawasan di situ kerap, saban hari dilakukan pelanggaran. Jadi sama saja dengan polisi akhirnya bikin pos di situ. Pemprov DKI bikin pos portable, jadi kalau orang lalu lalang masih bisa lewat tenda. Jadi mereka bisa monitoring minimal sampai malam. Minimal jam-jam mal masih buka,” katanya.
Penyempitan bollard atau penghalang di trotoar untuk halangi sepeda motor juga dinilai tak bisa dilakukan. Lebar penghalang yang ada di jalur pedesterian, disebut menyesuaikan dengan kebutuhan pemakai kursi roda.
“Kalau sudah ada bollard atau apapun, kalau hitungan lebar dll, itu masuh harus akomodir penyandang kursi roda, makany alebar. Kalau sempit sulit. Mungkin bisa leter L atau lainnya,” ucap Alfred.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.