Jakarta – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) kembali menjadi fokus dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Agentic Artificial Intelligence (A-AI): Komplikasi atau Solusi” yang berlangsung di Ruang Kelas Tekadku Pengabdian Terbaik, Graha Tanoto STIK, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, S.I.K., Karo Penmas Divhumas Polri, tampil sebagai pembicara utama yang menegaskan bahwa kecerdasan buatan merupakan persoalan strategis yang tidak bisa dianggap sekedar tren teknologi. Ia menegaskan dampak luas AI terhadap institusi Polri, keamanan nasional, serta komunikasi publik.
Sebagai pembuka, Brigjen Trunoyudo menyoroti sejarah mesin sandi Enigma yang dipakai oleh Jerman pada masa Perang Dunia II. Meski pada zamannya Enigma dianggap mustahil dibobol karena variasi kunci yang nyaris tak terbatas, inovasi Alan Turing melalui mesin Bombe pada tahun 1940 mampu menguraikan kode tersebut hanya dalam hitungan jam. “Dari kisah Enigma kita belajar, sekuat apa pun sebuah teknologi, selalu ada celah untuk dipahami dan ditangani. Prinsip ini relevan juga dengan AI di era sekarang,” ujarnya.
Selanjutnya, Brigjen Trunoyudo membedah tiga level perkembangan AI. Pertama, Artificial Narrow Intelligence (ANI) yang merupakan AI spesifik dengan kemampuan terbatas, seperti ChatGPT, Google Translate, atau Siri. Kedua, Artificial General Intelligence (AGI) yang setara kecerdasannya dengan manusia dan mampu belajar berbagai bidang, saat ini masih dalam tahap penelitian. Terakhir, Artificial Super Intelligence (ASI) yang memiliki keunggulan jauh melampaui manusia di bidang ilmu, seni, dan pengambilan keputusan. Meskipun spekulatif, ASI memiliki potensi manfaat besar sekaligus risiko serius.
Ia menantang publik untuk menjawab pertanyaan fundamental, apakah AI akan menjadi solusi atau justru sumber komplikasi? “Jawabannya ditentukan oleh bagaimana kita mengelolanya,” tegasnya.
Mengenai aspek ekonomi, Brigjen Trunoyudo mengutip pernyataan Wamenkominfo Nezar Patria yang memprediksi kontribusi AI terhadap Produktivitas Domestik Bruto (PDB) Indonesia bisa mencapai 366 miliar dolar AS pada tahun 2030. Selain itu, survei menyebutkan bahwa 95% pelaku usaha di Indonesia memiliki rencana menggunakan AI generatif dan lebih dari 22% tenaga kerja telah memanfaatkan AI.
Namun, selain potensi besar tersebut, risiko juga mengintai. Ancaman seperti deepfake, serangan siber otomatis, serta bias algoritmik menjadi perhatian serius. Oleh karenanya, Polri bersama lembaga terkait harus menyiapkan sistem pertahanan digital tangguh untuk menghadapi ancaman ini.
Dalam rangka menanggulangi tantangan ini, Brigjen Trunoyudo menguraikan lima pilar strategi pokok yang wajib diimplementasikan. Pertama, memahami sistem AI secara mendalam dengan menciptakan explainable AI agar proses dan keputusan mesin dapat dipahami secara transparan. Kedua, menggunakan AI untuk melawan AI, contohnya dengan mengembangkan “mesin Bombe” versi baru untuk mendeteksi deepfake dan serangan digital lainnya. Ketiga, merumuskan regulasi dan kode etik, termasuk hukum nasional dan internasional terkait pemanfaatan AI. Keempat, menggalang kolaborasi lintas disiplin yang melibatkan pakar teknologi, hukum, sosiologi, pemerintah, serta sektor industri. Terakhir, meningkatkan literasi publik agar masyarakat mampu bersikap kritis terhadap hoaks berbasis AI.
Diskusi ini menegaskan bahwa AI lebih dari sekedar alat bantu teknologi, tetapi sebuah ekosistem yang mengandung peluang sekaligus tantangan besar. “Seperti halnya Enigma yang akhirnya bisa dipecahkan, AI juga harus kita kelola dengan literasi, regulasi, dan kolaborasi. Apakah akan menjadi komplikasi atau solusi, semuanya bergantung pada kesiapan kita,” pungkas Brigjen Trunoyudo.
Diharapkan Focus Group Discussion ini membuka wawasan baru bagi para peserta, terutama di lingkungan Polri, dalam menyusun strategi pemanfaatan kecerdasan buatan yang etis, aman, dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat luas.